Saturday, February 2, 2013

Kanker Yang Membawa Istriku Ke Surga



Di suatu pagi tiba-tiba handpone bordering setelah menjawab salam istriku Handayani disebrang sana  tampak terdengar panik
”Ayah bunda mimisan ni.”
Aku memaklumi kepanikan istriku saat itu,karena belum pernah ia mengalami mimisan seperti ini.Memang cuaca di Agustus ini 2007 siang itu begitu teriknya  aku pikit ini akibat cuaca yang terik itu.Kemudian aku sarankan dia segera ke dokter .
Beberapa hari kemudian ia terserang flu seperti biasa ia hanya meminum obat warung saja dan jarang sekali mau periksa ke dokter,lalu aku berkata
Hoalah bunda . . . . ke dokter saja kok takut “ ledeku
His ayah ini “ Lalu dia memajukan bibirnya ldua centi
Dua minggu telah berselang namun pileknya belum juga hilang malah katanya ada yang teras menyumbat di saluran hidungnya sehingga dia susah  untuk brnapas.
“Bunda besok kita ke rumah sakit ya ! biar ayah ijin masuk kerja siang.” rayu ku agar ia mau berobat ke rumah sakit.
Keesokan harinya aku mengajak dia ke rumah sakit Depok ,saat itu dokter THT bilang istriku alergi pada debu dan bulu-bulu binatang.
Tapi sampai obatnya habis pilek dan alerginya belun ada tnda–tanda kesembuhan anehnya yang sering keluar lendir hidung sebelah kiri saja bahkan istriku mulai susah  bernapas melalui hidung  dia hanya bia menghirup napas melalui mulut saja dan ketika saya membawanya periksa untuk kedua kalinya dokter pun menyarankan untuk rontgen namun dari hasil rintgen tidak terlihat adanya kelainan pada istriku.
Pada 3 oktober 2007 aku mengajaknya periksa ke RS Jakarta  karena menurut informasi disini peralatannya lebih lengkap.
Ternyata benar dengan alat penyedot dokter mengelurkan lendir dalam hidung istriku .
Senang rasanya melihat istriku dapat brnapas dengan lega.
Beberapa hari kemudian sumbatan itu kembali muncul pada istriku  melihat hal itupun aku tidak tinggal diam lalu akupun mengajak dia untuk berobat kembali ke RS Jakarta kali ini dokter menyarankan untuk di lakukan tes labolatorium.
Lalu dokter pun menymapaikan hasilnya.
“ini ibu positif pak!”sambil menunjukan sebuah foto dan kertas.
“Maksudnya dokter apa?”akupun sungguh tidak mengerti       
“Ibu handayani positif terkena kanker!”
Deekk. . . seolah detak jantung ku berhenti
APA KANKER ?
Tiba-tiba penglihatan ku menjadi gelap sebuah beban berat terasa menindih badanku aku diam dan tak mampu berkata apa-apa.KANKER?
KANKER? Sebuah penyakit yang selama ini hanya ku kenal lewat berita-berita saja kini penyakit itu pun menghampiri orang terdekat ku yang paling  aku sayang penyakit yang menakutken itu pun menyerang istriku.
Ku tatap wajah  cantik istriku yang di balut dengan jilbab pavoritnya tenang dan teguh  tak aa ekspresi apa-apa  aku semakin  bingung untuk memecahkan  kebingungan itu  aku bertanya.
“Bunda apa yang bunda pikirkan?”
“Tenanglah ayah percayalah bunda akan baik-baik aja,ini hanya sebuah penyakit”.Dia berkata dengan senyuman manisnya.
“Pak Dani bapak harus segera ke RSCM  kita harus segera bertindak cepat”.
“Baik dokter! Segera aku langsung mengambil surat pengantar dokter dan lansung menuju RSCM.
Sungguh tak pernah tepikirkan sedikitpun sebelumnyakini akmi berada dalam deretan orang-orang  penderita kanker di ruang tunggu spesialis radiologi ini.
Aroma kecemasan bahkan keputusasaan tergambar di wajah mereka, sebenarnya ini juga aku rasakan , tapi ini harus ku sembunyikan di hadapan istriku.
Di hadapan dokter radiologi, aku bertanya.
“Sebenarnya istriku terkena kanker apa?”
“Istri bapak terkena kanker nasofaring.”
Allahu akbar, kanker apa ini? Istilahnya saja aneh bagiku, mengapa harus istriku yang mengalaminya?
“Tapi insya Allah pak, masih bisa di sembuhkan dengan pengobatan sinar radiasi dan kemoterapy.” Dokter  mencoba menenangkan ku.
“Lakukan dokter apa yang akan membuat istriku sembuh.”
“Baik pak!” Nanti ibu harus mengalami pengobatan radiasi selama 25 kali.”
Tebayang  beratnya derita dan kelelahan yang harus di alami oleh istriku.
Keluar dari ruang radiologi aku pun mengabari keluarga dan teman-teman terdekat mengenai keadaan istriku dan meminta doa dari mereka.
Lima Desember 2007 istriku harus di rawat inap di RSCM dan Alhamdulillah hasilnya pun rahim istriku masih bersih dan tulang pun normal, artinya kankernya belum menyebar ke organ lain.
Hari ke empat 8 Desembet 2007, aku di panggil dokter, di katakannya bahwa kanker istriku stadium 2A, dan insya Allah masih bias di sembuhkan. Akhirnya sejak saat itu, kami melakukan ikhtiar pengobatan dengan cara alternative dam minum obat-obat herbal. Doa pun tiada henti ku panjatkan siang dan malam.
Dua bulan pengobatan tidak menghasilkan buah kesembuhan. Beberapa keluarga istriku mulai putus asa. Tapi aku mulai membantah, aku yakinkan istriku bahwa ini adalah memang ujian dari Allah.
“Bunda, semuanya atas kehendah Allah, bahkan sebelum kita lahir sudah tertulis takdir ini, yang penting kita jangan lelah berikhtiar untuk sembuh.”
Berat badan istriku mulai menurun dari 53 kg, hingga kini tinggal 36 kg. 4 Januari 2008, dokter berkata bahwa kanker istriku sudah memasuki stadium 4C dan kankernya sudah menggerogoti penyangga otak. Mendengar pernyataan itu rasanya aku ingin menjerit.
"Ya Allah begitu berat cobaan ini engkau limpahkan kepada kami.”
Yang lebih mengagetkan ketika dokter berkata.
“Kita hanya bisa memperlambat pertumbuhan kankernya, bukan mengobatinya.”
Seolah hitungan mundur kematian di mulai.
Tak hentinya aku berdoa untuk kesembuhan istriku.
“aku ingin ketenangan, aku butuh pertolonganmu ya Rabb.”
Saat itu istriku sudah tidak bisa lagi berbicara dengan jelas. Dokter pun menyarankan agar di pasang alat bantu pernafasan.
Enam belas Februari 2008, dokter mengatakan bahwa kondisi istriku mulai membaik, maka di perbolehkan pulang.
“Bunda, nanti kalau pulang mau kemana, ke Kebun Jeruk apa ke Kebayoran?” aku bertanya kepada istriku.
“Tentu ke Kebayoran, rumah kita sendiri dong ayah.”
Karena keadaan istriku mulai membaik, aku pun kembali bekerja. Siang itu aku di kantor mendapat kabar dari rumah sakit bahwa istriku masuk ruang ICU, dengan keadaan tak sadarkan diri dan detak jantungnya yang melemah. Dengan siaga aku beranjak ke rumah sakit.
“Maaf pak, kami sudah tidak sanggup lagi menangani istri bapak, kami rasa lebih baik semua alat bantu di lepas.”
“Maksud dokter?”
“Secara medis kondisi istri bapak sudah tidak dapat di tolong lagi, sekarang yang dapat kita lakukan hanyalah berdoa.”
Terasa lemas aku mendengar semua pernyataan itu. Benarkah tidak ada harapan lagi untuk istriku?
“ Permisi pak, ini ada tulisan dari istri bapak sebelum beliau tak sadarkan diri, beliau meminta selembar kertas kepada saya.” Ujar seorang suster.
Lalu aku pun membuka dan membacanya.
“Sudahlah ayah, tak perlu lagi menangisi keadaan bunda, bukankah ayah yang bilang kalau semua ini sudah takdir?”
Malam ini ku panjatkan doa-doa yang terbaik untuk istriku.
“kalau memang ini kehendakmu ya Allah, menentukan jalan yang lain aku ikhlas, mudahkan jalan istriku ya Allah untuk menghadapmu dalam keadaan khusnul khotimah.”
Menurut suster dalam keadaan ini pasien masih bisa mendengar, ku bombing istriku mengucapkan kalimat “Lailaahailallah muhammadurasulullah” perlahan aku membimbingnya, aku mengerti betul setiap helaian nafasnya, ku ulang hingga beberapa kali.
Kamis, 9 Februari 2008 aku terbangun ketika seorang suster memanggilku.
“Keluarga Ibu Handayani!”
“Iya suster, saya.”
“Maaf pak, Ibu Handayani sudah tiada.”
Meski aku tahu maksudnya, tapi aku masih tak percaya. Lalu ku dekap tubuh lemas istriku, dengan wajahnya yang menoleh ke belakang dan dengan sebuah senyuman manisnya.
Innalillahiwainna ilaihirojiun, ayah ikhlas melepas bunda pergi, selamat jalan istriku tercinta, jemput aku nanti di pintu surga.”
Dan untuk yang terakhir kalinya aku mencium keningnya.

Ali WinardianaDitulis Oleh : Ali Winardiana

Artikel Kanker Yang Membawa Istriku Ke Surga, diterbitkan oleh alLeY pada hari Saturday, February 2, 2013. Semoga artikel ini dapat menambah wawasan Anda. Oleh Admin, Sobat diperbolehkan mengcopy paste / menyebar-luaskan artikel ini, namun anda harus meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya, dan baca peraturan Disclaimer sebelum copy-paste.

No comments:

Post a Comment