Di suatu pagi tiba-tiba
handpone bordering setelah menjawab salam istriku Handayani disebrang sana tampak terdengar panik
”Ayah bunda mimisan ni.”
Aku memaklumi kepanikan istriku saat itu,karena
belum pernah ia mengalami mimisan seperti ini.Memang cuaca di Agustus ini 2007
siang itu begitu teriknya aku pikit ini
akibat cuaca yang terik itu.Kemudian aku sarankan dia segera ke dokter .
Beberapa hari kemudian ia
terserang flu seperti biasa ia hanya meminum obat warung saja dan jarang sekali
mau periksa ke dokter,lalu aku berkata
“Hoalah
bunda . . . . ke dokter saja kok takut
“ ledeku
“His
ayah ini “ Lalu dia memajukan bibirnya ldua centi
Dua minggu telah
berselang namun pileknya belum juga hilang malah katanya ada yang teras
menyumbat di saluran hidungnya sehingga dia susah untuk brnapas.
“Bunda besok kita ke rumah sakit ya !
biar ayah ijin masuk kerja siang.”
rayu ku agar ia mau berobat ke rumah sakit.
Keesokan harinya aku
mengajak dia ke rumah sakit Depok ,saat itu dokter THT bilang istriku alergi
pada debu dan bulu-bulu binatang.
Tapi sampai obatnya habis
pilek dan alerginya belun ada tnda–tanda kesembuhan anehnya yang sering keluar
lendir hidung sebelah kiri saja bahkan istriku mulai susah bernapas melalui hidung dia hanya bia menghirup napas melalui mulut
saja dan ketika saya membawanya periksa untuk kedua kalinya dokter pun
menyarankan untuk rontgen namun dari hasil rintgen tidak terlihat adanya
kelainan pada istriku.
Pada 3 oktober 2007 aku
mengajaknya periksa ke RS Jakarta karena
menurut informasi disini peralatannya lebih lengkap.
Ternyata benar dengan
alat penyedot dokter mengelurkan lendir dalam hidung istriku .
Senang rasanya melihat
istriku dapat brnapas dengan lega.
Beberapa hari kemudian
sumbatan itu kembali muncul pada istriku
melihat hal itupun aku tidak tinggal diam lalu akupun mengajak dia untuk
berobat kembali ke RS Jakarta kali ini dokter menyarankan untuk di lakukan tes
labolatorium.
Lalu dokter pun
menymapaikan hasilnya.
“ini ibu positif pak!”sambil
menunjukan sebuah foto dan kertas.
“Maksudnya dokter apa?”akupun sungguh
tidak mengerti
“Ibu handayani positif terkena
kanker!”
Deekk. . .
seolah detak jantung ku berhenti
APA KANKER ?
Tiba-tiba penglihatan ku
menjadi gelap sebuah beban berat terasa menindih badanku aku diam dan tak mampu
berkata apa-apa.KANKER?
KANKER? Sebuah penyakit
yang selama ini hanya ku kenal lewat berita-berita saja kini penyakit itu pun
menghampiri orang terdekat ku yang paling
aku sayang penyakit yang menakutken itu pun menyerang istriku.
Ku tatap wajah cantik istriku yang di balut dengan jilbab
pavoritnya tenang dan teguh tak aa
ekspresi apa-apa aku semakin bingung untuk memecahkan kebingungan itu aku bertanya.
“Bunda apa yang bunda pikirkan?”
“Tenanglah ayah percayalah bunda akan
baik-baik aja,ini hanya sebuah
penyakit”.Dia berkata dengan senyuman manisnya.
“Pak Dani bapak harus segera ke
RSCM kita harus segera bertindak cepat”.
“Baik dokter! Segera aku langsung
mengambil surat pengantar dokter dan lansung menuju RSCM.
Sungguh tak pernah
tepikirkan sedikitpun sebelumnyakini akmi berada dalam deretan orang-orang penderita kanker di ruang tunggu spesialis
radiologi ini.
Aroma kecemasan bahkan
keputusasaan tergambar di wajah mereka, sebenarnya ini juga aku rasakan , tapi
ini harus ku sembunyikan di hadapan istriku.
Di hadapan dokter
radiologi, aku bertanya.
“Sebenarnya istriku terkena kanker
apa?”
“Istri bapak terkena kanker
nasofaring.”
Allahu akbar, kanker apa ini?
Istilahnya saja aneh bagiku, mengapa harus istriku yang mengalaminya?
“Tapi insya Allah pak, masih bisa di
sembuhkan dengan pengobatan sinar radiasi dan kemoterapy.” Dokter mencoba menenangkan ku.
“Lakukan dokter apa yang akan membuat
istriku sembuh.”
“Baik pak!” Nanti ibu harus mengalami
pengobatan radiasi selama 25 kali.”
Tebayang beratnya derita dan kelelahan yang harus di
alami oleh istriku.
Keluar dari ruang radiologi aku pun
mengabari keluarga dan teman-teman terdekat mengenai keadaan istriku dan
meminta doa dari mereka.
Lima Desember 2007
istriku harus di rawat inap di RSCM dan Alhamdulillah hasilnya pun rahim
istriku masih bersih dan tulang pun normal, artinya kankernya belum menyebar ke
organ lain.
Hari ke empat 8 Desembet
2007, aku di panggil dokter, di katakannya bahwa kanker istriku stadium 2A, dan
insya Allah masih bias di sembuhkan. Akhirnya sejak saat itu, kami melakukan
ikhtiar pengobatan dengan cara alternative dam minum obat-obat herbal. Doa pun
tiada henti ku panjatkan siang dan malam.
Dua bulan pengobatan
tidak menghasilkan buah kesembuhan. Beberapa keluarga istriku mulai putus asa.
Tapi aku mulai membantah, aku yakinkan istriku bahwa ini adalah memang ujian
dari Allah.
“Bunda, semuanya atas kehendah Allah,
bahkan sebelum kita lahir sudah tertulis takdir ini, yang penting kita jangan
lelah berikhtiar untuk sembuh.”
Berat badan istriku mulai
menurun dari 53 kg, hingga kini tinggal 36 kg. 4 Januari 2008, dokter berkata
bahwa kanker istriku sudah memasuki stadium 4C dan kankernya sudah menggerogoti
penyangga otak. Mendengar pernyataan itu rasanya aku ingin menjerit.
"Ya Allah begitu berat cobaan
ini engkau limpahkan kepada kami.”
Yang lebih mengagetkan ketika dokter
berkata.
“Kita hanya bisa memperlambat
pertumbuhan kankernya, bukan mengobatinya.”
Seolah hitungan mundur kematian di
mulai.
Tak hentinya aku berdoa
untuk kesembuhan istriku.
“aku ingin ketenangan, aku butuh
pertolonganmu ya Rabb.”
Saat itu istriku sudah
tidak bisa lagi berbicara dengan jelas. Dokter pun menyarankan agar di pasang
alat bantu pernafasan.
Enam belas Februari 2008,
dokter mengatakan bahwa kondisi istriku mulai membaik, maka di perbolehkan
pulang.
“Bunda, nanti kalau pulang mau
kemana, ke Kebun Jeruk apa ke Kebayoran?” aku bertanya kepada istriku.
“Tentu ke Kebayoran, rumah kita sendiri
dong ayah.”
Karena keadaan istriku
mulai membaik, aku pun kembali bekerja. Siang itu aku di kantor mendapat kabar
dari rumah sakit bahwa istriku masuk ruang ICU, dengan keadaan tak sadarkan
diri dan detak jantungnya yang melemah. Dengan siaga aku beranjak ke rumah
sakit.
“Maaf pak, kami sudah tidak sanggup
lagi menangani istri bapak, kami rasa lebih baik semua alat bantu di lepas.”
“Maksud dokter?”
“Secara medis kondisi istri bapak
sudah tidak dapat di tolong lagi, sekarang yang dapat kita lakukan hanyalah
berdoa.”
Terasa lemas aku
mendengar semua pernyataan itu. Benarkah tidak ada harapan lagi untuk istriku?
“ Permisi pak, ini ada tulisan dari
istri bapak sebelum beliau tak sadarkan diri, beliau meminta selembar kertas
kepada saya.” Ujar seorang suster.
Lalu aku pun membuka dan membacanya.
“Sudahlah ayah, tak perlu lagi
menangisi keadaan bunda, bukankah ayah yang bilang kalau semua ini sudah
takdir?”
Malam ini ku panjatkan
doa-doa yang terbaik untuk istriku.
“kalau memang ini kehendakmu ya
Allah, menentukan jalan yang lain aku ikhlas, mudahkan jalan istriku ya Allah
untuk menghadapmu dalam keadaan khusnul khotimah.”
Menurut suster dalam
keadaan ini pasien masih bisa mendengar, ku bombing istriku mengucapkan kalimat
“Lailaahailallah muhammadurasulullah”
perlahan aku membimbingnya, aku mengerti betul setiap helaian nafasnya, ku
ulang hingga beberapa kali.
Kamis, 9 Februari 2008
aku terbangun ketika seorang suster memanggilku.
“Keluarga Ibu Handayani!”
“Iya suster, saya.”
“Maaf pak, Ibu Handayani sudah tiada.”
Meski aku tahu maksudnya,
tapi aku masih tak percaya. Lalu ku dekap tubuh lemas istriku, dengan wajahnya
yang menoleh ke belakang dan dengan sebuah senyuman manisnya.
“Innalillahiwainna
ilaihirojiun, ayah ikhlas melepas bunda pergi, selamat jalan istriku
tercinta, jemput aku nanti di pintu surga.”
Dan untuk yang terakhir
kalinya aku mencium keningnya.
No comments:
Post a Comment