Gerimis tak berhenti juga, ditambah dengan Tari yang sejak pulang dari sekolah tadi tak keluar-keluar dari kamarnya. Padahal jam dinding hadiah dari temannya sudah menunjukkan pukul 17.15. Itu berarti adzan magrib semakin dekat.
Tari kembali melirik buku bututnya. Aduh! Susahnya, ia membanting napas kesal isi buku yang dibacanya dari tadi belum masuk juga ke otaknya. Karena capek, ia selonjoran di kasur bunga mawarnya itu. Tapi ia malah teringat oleh mantannya. Ditariknya foto tu dari dompetnya. Huh, seandainya! Adu, dia melulu. Malas ah!
Ia sekejap langsung menyembunyikan benda kenangannya dengan Audra itu di
dompetnya. Bodohnya aku! Cewek berambut panjang hitam itu mengeluh, namun
penyesalan yang menginjak-nginjak batinnya nggak pergi-pergi juga. Iih, Tari
menggumam. Kenapa aku dulu menyia-nyiakannya,ya? Ga dewasa, kurang bersyukur?
Atau, dia yang terlalu seperti anak kecil?
Kenangan itu masih tertempel di otak Tari, saat sosok yang dikenangnya itu memberikan surat kepadanya. Surat yang isinya mengajak Tari putus dengannya. Memang sosok Audra yang seperti anak kecil, pemalu, pintar, berkulit cokelat, wajahnya yang bersih, dan bertubuh tinggi itu bukan termasuk tipe Tari. Tapi ia sulit untuk memutuskan putus atau tidak pada saat itu. Selama ini semenjak putus dengan Audra, ia sering berkhayal, berkhayal seandainya ia bisa lebih berpikir dewasa lagi. Namun yang sudah terjadi tidak bisa kembali lagi.
Daripada ia teringat dengan kekerasan bapaknya, ia mending terlintas
kenangannya dengan Audra. Plak!! Batin Tari tergoncang, tamparan bapaknya ke
bundanya itu sampai menggerakkan gendang telinganya. Bapak, Bapak! Cukup! Tari
berlari menangis. Tak heran kalau Tari terkadang berdiam diri di kelasnya.
Wajah gelisahnya membuat dirinya penuh dengan misteri. Tapi sesungguhnya ia
termasuk perempuan sabar dan kuat karena ia dapat bertahan dengan kondisin
keluarga seperti itu.
Tet tet tet! Bunyi bel sekolah Tari berdenting, yang menandakan jam istirahat
telah usai. Namun Tari masih tetap duduk terenung di bangkunya sampai Yanti
sobatnya itu membangunkannya dari lamunannya.
“Tar!”
“Ei, kowe kok ngelamun aja toh?”
“Iya nih, lagi pusing aku.”
“Ooo, makanya kowe kok nggak sholat dhuha, biasanya kowekan rajin gitu.”
“He, itu itu Audra!” Yanti menyoel-nyoel Tari. Paan sih! Kalau kamu suka dia jangan kayak gini dong! Alah yang suka aku apa kowe, Ihiir!! Yanti menyindir sobatnya itu.
Tapi dengan kelucuan sahabatnya itu, akhirnya Tari dapat tersenyum yang sejak
kemarin ia terus menangis dan bersedih karena bapaknya itu menampar bundanya
yang tak sengaja mengingatkan bapaknya untuk tidak merokok dan pulang malam.
Yan, aku tuh udah putus dengannya! Tari menyela sobatnya denan menahan ketawa
sebab melihat wajah Yanti yang berekspresi kayak “Aming” komedian itu.
Tentu saja Tari nggak akan mengatakan ke Yanti kalau ia sedang sedih dan
menangisi takdirnya. Batas bercerita tetap ada. Dan Tari tak ingin sobatnya itu
bersedih lantaran kehidupannya yang menyedihkan.
Dan siang itu meskipun Tari mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia, tapi
pikirannya masih melayang kemana-mana. Seandainya Audra masih menjadi
kekasihku! pasti masalahku akan reda dengan adanya dirinya. Huh malangnya
nasibku. Eiiiiihh!! Teriakannya membuat sekelas gaduh dan kaget. Ini berawal
dari Bejo yang menepuk bahu Tari.
“Tar, hihihihi, ngelamun aja, kesambet lo entar!” Bejo pura-pura tak ngerti kesalahannya. Padahal gara-gara dia Tari dipanggil ke depan oleh Bu Tartik, guru paling killer di sekolah.
“Tari! Maju ke depan.”
“Oh, My God!”
“Bilang apa kamu tadi ?”
“Ndak Bu, ndak!”
Semua teman Tari tertawa sambil menahan ketawa karena tak ingin Bu Tartik
mendengar ketawa mereka, namun tidak dengan Yanti dan Audra. Mereka terlihat
sedang berpikir sesuatu.
“Ono opo ya ma Tari ?”
“Iya ya, ada apa dengan Tari, apa gara-gara aku ?”
Teman sebangku Yanti dan yang tak lain adalah Audra mencetuskan kata-kata seperti itu.
Dan membuat Yanti terkejut dan berpikir apa sebenarnya mereka berdua masih saling suka.
Tapi…………
Di lain posisi, Bu Tartik memarahi Tari abis-abisan.
“Tariiiii, kamu itu! Kalau kamu tidak ingin mengikuti pelajaran saya. Kamu jangan menganggu pelajaran Ibu!” muka Tari yang memerah membuat dirinya tampak habis makan 100 cabe merah keriting yang biasa dilihatnya di dapur ketika ia memasak dengan bundanya.
Tet tet tet tet tet tet…………
Untung penderitaan Tari berhenti juga, bel sekolah yang memengakkan telinga itu
menyelamatkan hidupnya hari ini. Tak hanya Tari, teman-temannya juga
terselamatkan. Karena mereka ingin sekali tak mengikuti pelajaran ini. Tapi
begitu melihat Bu Tartik, akhirnya mereka mengikutinya.
“Duduk kamu! Ketua kelas pimpin doa!”
“Iya Bu.” Tari dan ketua kelasnya menyahut bersama. Setelah Bu Tartik keluar dari kelas, Yanti dengan tas merah stroberinya itu langsung menyambar Tari. Tar kowe kenapa?
“Iya, kamu kenapa ?”
Oh My God, Audra! Tari yang semula cemberut langsung bersinar-sinar ketika Audra menghampiri dan perhatian kepadanya.
“Aku nggak apa-apa kok Dra! Aku cuma cuma……..”
“Cuma ngelamunin kamu Dra.” Bejo menyela perkataan Tari namun Yanti membela sobatnya.
“Bejo! kowe ojo ngono.”
“Nggak nggak, aku lagi pusing aja, kamu nggak pulang Dra ?” Tari mengalihkan suasana dan itu berhasil.
“Ya uda, aku pulang dulu ya.” Audra melirik Tari dengan senyumnya yang bisa membuat Tari mabuk kepayang. Bejo pun mengikutinya dari belakang.
“Tar, kowe bener-bener pusing ta ?”
“Ehmm, nggak sih, aku tadi lagi mikirin Audra tapi gara-gara Bejo tukang usil itu, aku jadi dicereweti Bu Tartik deh.”
“Ooo, emang kowe tuh!”
“Eeemang!!!” Tari menggoda sobatnya itu dan merangkulnya agar Yanti segera pulang dengannya. Lalu mereka harus masih menunggu kendaraan warna biru berlabelkan “AMG”(Arjosari-Gadang) itu.
Jam 7 malam …………
Bapak sedang menonton TV dan bapak memanggil Tari. Tak biasanya bapak mau
bicara dengan Tari. Tari, sini!Bapak mau ngomong. Besok akan ada keluarga teman
Bapak yang mau melamarmu, jadi besok kamu harus langsung pulang setelah jam
sekolah selesai.
“Tapi Pak, saya masih sekolah, masak mau dilamar.”
“Kamu bisa tunangan dulu dan setelah lulus dari kuliah, kamu baru menikah dengannya!”
Bapak tidak mau mendengar alasan apapun dari Tari. Jika Bapak sudah bicara A,
maka Tari harus mengikutinya. Tari tak tahu harus bagaimana, tak harus berbuat
apa. Tari bingung! Tari harus bagaimana ya Allah ? Bunda mengetuk pintu kamar
Tari dan setelah bunda masuk, mereka terlibat dalam pembicaraan.
“Sabar ya anakku, Bunda selalu disini menemanimu.” Mereka menangis berdua.
Keesokan harinya Tari tak masuk sekolah karena untuk masuk, ia terlalu capek.
Capek menangis semalaman. Ini merupakan takdir atau hanya kebetulan saja, Audra
juga tak masuk. Entah apa alasannya. Di sebuah rumah di jalan araya itu, ada
perbincangan antar keluarga.
“Papa, Audra tak mau dijodohkan!”
“Nak, dia baik buat kamu! Terserah alasan kamu apa, yang penting sekarang kamu siap-siap untuk sore nanti!”
“Pa!!!”
Jam di kamar Tari sudah menunjukkan pukul 15.00 dan sebentar lagi ia akan
dilamar. Bun! Aku nggak mau pake kebaya ini, ia melempar kebaya berwarna putih
jika dipakenya akan pas di badannya yang ramping itu. Bunda, aku mau dengan
perjodohan ini hanya karena agar Bunda tak disakiti Bapak! Tari memperjelas
alasannya kepada Bundanya. Mendadak sebuah sedan hijau masuk pelan ke halaman
rumah Tari dan berhenti tepat di depan teras. Bapak menyambut keluarga itu.
Namun ada yang aneh, anak laki-laki dari keluarga itu terlihat murung dan malas
sama seperti Tari. Selamat datang! Silahkan masuk. Bapak mempersilahkan mereka
masuk.
Dibantu dengan bunda, ia segera memakai sepatu highheels warna putih mengkilat
itu dengan buru-buru. Meskipun terpaksa, Tari akhirnya keluar dan menemui
keluarga pelamarnya.
Ketika Tari bertatap muka dengan anak laki-laki berjas hitam dengan kerah terbuka yang terlihat tampan saat itu, ia serasa mau pingsan di tempat. Apa kamu?kamu?? Tari terheran dengannya.
Ketika Tari bertatap muka dengan anak laki-laki berjas hitam dengan kerah terbuka yang terlihat tampan saat itu, ia serasa mau pingsan di tempat. Apa kamu?kamu?? Tari terheran dengannya.
“Ya benar, aku Audra!” Dia memang Audra, mantanku. Oh, takdir macam apakah ini? Secara reflek, Tari langsung memeluk Audra dan ……………
“Tar,Aku sayang kamu!”
“Aku juga Dra, aku sayang kamu!”
Unsur Intrinsik
1. Tema : Percintaan dan takdir
2. Amanat : a. Dalam menghadapi hal apapun harus bersikap dewasa dan berpikir panjang.
b. Sabarlah dalam menjalani kehidupan ini.
c. Percaya dengan takdir Allah SWT
d. Jangan menggunakan kekerasan dalam bertindak
e. Patuhilah dan hormati orang tua kita
f. Jangan menyesali sesuatu yang sudah terjadi
g. Jangan melamun dan tak fokus sewaktu pelajaran
3. Alur : Campuran
4. setting : a. Kamar tari pukul 17.15
b. Kelas sehabis jam istirahat sekolah
c. jam 7 malam di ruang menonton TV
d. Kamar setelah sholat isyak
e. Rumah di jalan Araya
f. Jam 15.00 di rumah Tari
5. Penokohan/perwatakan : Tari : sabar, tabah, tertutup, kuat, taat beribadah, pelamun.
Audra : tidak dewasa, perhatian, pemalu
Yanti : medok, baik, perhatian, suka, melucu, setia kawan
Bapak : keras kepala, pemaksa, egois, suka memukul, mudah emosi
Bunda : sabar, penyayang, perhatian, lemah lembut, rela berkorban
Bejo : Usil, medok, nakal
Bu Tartik : Pemarah, tegas, killer
Papa : Egois
6. Sudut pandang : Orang ketiga serba tahu
2. Amanat : a. Dalam menghadapi hal apapun harus bersikap dewasa dan berpikir panjang.
b. Sabarlah dalam menjalani kehidupan ini.
c. Percaya dengan takdir Allah SWT
d. Jangan menggunakan kekerasan dalam bertindak
e. Patuhilah dan hormati orang tua kita
f. Jangan menyesali sesuatu yang sudah terjadi
g. Jangan melamun dan tak fokus sewaktu pelajaran
3. Alur : Campuran
4. setting : a. Kamar tari pukul 17.15
b. Kelas sehabis jam istirahat sekolah
c. jam 7 malam di ruang menonton TV
d. Kamar setelah sholat isyak
e. Rumah di jalan Araya
f. Jam 15.00 di rumah Tari
5. Penokohan/perwatakan : Tari : sabar, tabah, tertutup, kuat, taat beribadah, pelamun.
Audra : tidak dewasa, perhatian, pemalu
Yanti : medok, baik, perhatian, suka, melucu, setia kawan
Bapak : keras kepala, pemaksa, egois, suka memukul, mudah emosi
Bunda : sabar, penyayang, perhatian, lemah lembut, rela berkorban
Bejo : Usil, medok, nakal
Bu Tartik : Pemarah, tegas, killer
Papa : Egois
6. Sudut pandang : Orang ketiga serba tahu
Kaitkata: cerpen diatas menggambarkan kehidupan
No comments:
Post a Comment